Kisah ini saya kutip dari artikel Majalah Tarbawi Edisi 177 Th.9 / April 2008. Saya sangat terkesan dan kagum kepada Pak Ayi Rohaman (Desa Arjasari, Bandung) atas keikhlasan, keseriusan dan sumbangsih beliau untuk pendidikan bangsa. Semoga Allah membalas segala kebaikan dan pengorbanan beliau. Berikut ringkasan kisahnya yang dituturkan beliau pada Tarbawi.
Mang Ayi, Gorden Keliling dan Perpustakaan Sariwangi
“ Sejak masih remaja, saya sudah bekerja apa saja. Keluarga saya bukan keluarga berada, bahkan sangat sederhana. Waktu masih sekolah, saya sering tidak bisa membeli buku karena sama sekali tidak ada uang. Meski sangat ingin dan perlu buku, tapi saya tidak tega kalau harus memaksa orang tua, karena biayanya memang tidak ada.
Sejak dulu, saya memang senang membaca buku. Karena kesukaan saya ini, kadang saya dicemooh, disebut berlagak seperti orang kaya [tertawa]. Ketika menyempatkan waktu untuk membaca, kadang dikatakan, “wah tukang gorden kayak orang kaya, pagi-pagi udah baca koran” [tertawa]. Tapi saya tidak ambil pusing. Menyikapi olokan teman, saya justru merasa prihatin. Mungkin mereka masih berprinsip buat apa membaca, memangnya bisa mendatangkan uang.
Saya pernah membaca penelitian sebuah majalah di tahun 2004, yang mengatakan daya baca masyarakat kita di bawah standar. Katanya minat baca orang Indonesia peringkat 110 dari 175 negara. Saya kaget, kenapa bisa serendah itu. Apa karena manusianya tidak mau membaca atau karena tidak ada bahan bacaan yang aksesnya mudah. Kalau alasannya tidak ada bahan bacaan, kenapa kita tidak terjun untuk menyediakan. Akhirnya mulai terpikir untuk membuka taman bacaan di desa sendiri (desa Arjasari, Bandung).
Suatu hari ketika berjualan gorden keliling, saya melihat di satu keluarga yang anaknya menangis meminta dibelikan buku. Orang tuanya tidak punya uang. Jangankan untuk buku, untuk makan hari itu saja sulit. Tiba di rumah, saya mencari buku yang disimpan di rumah. Buku bekas saya sekolah, buku bekas keponakan, dan buku bacaan lain saya kumpulkan. Terkumpul kurang lebih dari 75 buku. Kemudian saya membuka taman bacaan di teras rumah (pada 20 April 2004)
Awalnya, anak-anak tidak ada yang mau masuk ke teras ‘taman bacaan’ rumah saya. Akhirnya kalau ada anak yang lewat, saya panggil. Saya bilang buku-buku itu tidak dijual tapi justru untuk dibaca secara gratis. Mulailah anak-anak berdatangan dan membaca buku di teras. Selain ‘berkampanye’, saya juga membeli makanan kecil. Uang dari hasil berjualan gorden, saya pakai membeli makanan. Anak-anak lebih senang kalau membaca sambil dikasih makanan, dan semuanya gratis. Mereka memberi tahu temannya, “Disuruh membaca sama Mang Ayi, enak ada permen, ada makanan”. Dari temannya sampai ke temannya lagi. Lama-lama yang datang bertambah terus.
Mulanya istri kurang setuju saya membuka taman bacaan, juga dikarenakan khawatir seluruh perhatian saya tercurah untuk taman bacaan itu. Karena waktu itu rumah tangga saya sendiri ekonominya di bawah standar, miskin. Berjualan gorden keliling, kadang sehari ada yang membeli, setelah itu selama seminggu tidak ada pemasukan. Kalaupun ada untung saya jarang membawa pulang uang. Justru membawa pulang buku (untuk taman bacaan). Kalau mendatangi perumahan, saya melihat buku-buku yang akan dijual ke tukang rongsokan. Saya sangat prihatin. Ya Allah andaikata saya banyak uang, saya ingin membeli semua. Akhirnya saya beranikan diri menawar buku-buku itu. Awalnya orang-orang kaget, kenapa Ayi yang tukang gorden membeli buku bekas. Setelah mengetahui buku itu untuk taman bacaaan, seringkali harganya didiskon, kadang malah diberikan cuma-cuma. Pernah juga saya difitnah, ketika ada tukang rongsokan ingin membeli buku-buku bekas ibu pemilik rumah. Si ibu bilang mau diberikan ke Mang Ayi, namun tukang rongsokan itu berkata, “Mang Ayi bohong, buku-buku itu bukan untuk taman bacaan, tapi buat dijual”. Syukurlah si ibu lebih mempercayai saya.
Setelah buku yang terkumpul makin banyak, saya meminjam kios kakak saya di depan rumah. Buku-buku saya susun di dalam kios, yang ukurannya kecil sekali, hanya memuat lima orang. Kalau datang sepuluh anak, yang lima anak harus mengantri di luar. Taman bacaan saya itu kemudian saya beri nama Perpustakaan Sariwangi
Pernah anak bungsu saya menangis meminta uang jajan, tapi tidak saya berikan. Tiba-tiba datang ke perpustakaan seorang anak yang menanyakan buku, untuk PR, dan besoknya harus dikumpulkan. Ternyata di perpustakaan tidak ada buku itu. Hari itu juga saya cari buku itu ke pasar. Istri sempat protes karena anak sendiri tidak diberikan uang jajan [tertawa]. Saya kasihan, anak itu masuk perpustakaan sambil kebingungan. Setelah buku itu ada, anakitu wajahnya cerah. Kalau melihat anak yang wajahnya cerah karena menemukan buku yang dicari, saya senang”.
Perjuangan Mang Ayi belum selesai….
berlanjut ke part 2 di : https://lifenotes197.wordpress.com/2011/02/20/mang-ayi-gorden-keliling-part2/