Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘– kerjaku ibadahku’ Category

Tulisan berikut ini bukan untuk menyoroti masalah jihad yang sekarang telah banyak disalah artikan dan disalah gunakan.  Bentuk kekerasan atau bom yang melukai orang tak bersalah, sama sekali tidak patut disebut sebagai jihad.  Artikel ini sesungguhnya lebih menjadi reminder (pengingat), bahwa seperti kebanyakan pemuda zaman sekarang, bergelimang didalam hidup yang penuh dengan hedonisme, diri ini acapkali terseret kepada hal yang sebenarnya sia-sia, jauh dari tujuan hidup sebenarnya : ketaatan terhadap  Allah SWT.

Sementara, ternyata ada pemuda-pemuda yang menghabiskan umurnya didalam ketaatan terhadap Allah SWT, berjuang di jalan-Nya, membela agama-Nya, seperti halnya pemuda-pemuda yang mengagumkan berikut ini….

Untuk Pemuda Yang Tercinta

Palestinian youth prays on street outside destroyed mosque in Mughraqa

            Dari luarnya, mungkin mereka adalah pemuda seperti kebanyakan kita.  Menjalani segudang aktivitas kampus, belajar, melakukan penelitian, menghadiri kuliah.  Tetapi, di sisi lain, mereka sesungguhnya adalah pemuda-pemuda yang sangat berbeda, sangat istimewa.  Karena mereka adalah istisyhadiyun: para pemburu syahid.  Ya, mereka adalah para pemuda di Palestina, yang selalu waspada dan siap siaga menghadapi serangan tentara zionis Yahudi Israel. 

 

Dengarlah perkataan Abu Mu’adz, komandan istisyhadiyun bagian dari brigade

muslim_prayer

muslim_prayer

Al Qassam, sayap militer Hamas, “Mereka (para istisyhadiyun) hidup sama seperti pemuda lain yang taat beribadah, baik sikap dan perilakunya.  Sebagian adalah mahasiswa perguruan tinggi yang disiplin mengikuti kuliah sebagaimana mahasiswa umumnya.   Namun, mereka mempunyai agenda ibadah seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan shalat malam yang melebihi orang umum. Mereka mempunyai kekuatan tekad dan kemampuan kuat menghadapi kesulitan [kebutuhan makan dan minum selama di lorong bawah tanah hanya berupa kurma dan air]. Iman dan aqidah mereka kokoh.  Meski sesekali bercanda, namun mereka selalu melakukan tugas dengan baik”.

(dari tulisan M. Lili Nur Aulia, rubrik Ruhaniyat majalah Tarbawi, edisi 196, 2009)

Ironis rasanya jika dibandingkan dengan kehidupan pemuda Islam kita saat ini…yang lebih menyukai lifestylenon islami, pergaulan bebas, bermewah-mewah, membuka aurat, beramai-ramai mengunjungi acara & tempat yang jauh dari kesan Islami apalagi dari mengingat Allah SWT. Pemuda-pemuda yang non-stop menjejali dirinya dengan sajian TV yang tidak mendidik, bahkan mendorong mereka untuk hidup dengan faham hedonisme, borjuis, faham ’yang penting gaya’, ’hidup semau gue’

Pun, tak kalah getirnya jika dibandingkan dengan segelintir pemuda yang bermodalkan pemahaman yang sempit, semangat juang yang salah, lantas membuat teror dimasyarakat, meledakkan bom, kemudian latah mengatasnamakan tindakan tidak bertanggungjawab tersebut atas nama jihad…

Adakah pemuda-pemuda tersebut (tak terkecuali diri ini) telah menjaga kemuliaan Islam sebagaimana seharusnya? Adakah kita telah memberikan manfaat bagi umat ini? Adakah kita telah bersungguh-sungguh melakukan jihad yang sebenarnya: melawan hawa nafsu, memerangi kebodohan, menjaga amanah Rasulullah agar Islam tetap menjadi rahmatan lil ’alamiin?

Semoga Allah memberikan kita taufik dan hidayah agar dapat memaknai kata

pursuing Allah's bless in every halal profession

pursuing Allah's bless in every halal profession

’berjuang/berjihad’ dalam banyak aspek yang lain.  Dalam jenak-jenak ketekunan menuntut ilmu yang bermanfaat, didalam profesionalisme dan santun di ruang kerja.  Dalam peluh dan penat mencari rezeki yang halal bagi keluarga, ataupun dalam senyum hangat dan pengorbanan yang ikhlas bagi anak-anak kita.  Dalam hela nafas dan gerak hati berperang melawan hawa nafsu dan godaan setan yang senantiasa berkecamuk di relung jiwa. Di kantor-kantor ber AC, di jalanan penuh debu dan asap hingga di keheningan rumah kita….

Agar ’jihad’ kita bisa bernilai seperti halnya yang dilakukan pemuda-pemuda mengagumkan itu

Agar kelak…kita bisa tersenyum menemui Rabbul ’Alamiin bersama-sama diantara barisan para syuhada, para pemuda istisyhadiyun Palestina…

Wallahu a’lam bishshawab.

Ya Allah, karuniakanlah diri ini kasih sayang dan petunjuk-Mu untuk mengisi detik demi detik kehidupan ini dengan ketaatan terhadap-Mu. Karena… kepada-Mu jualah semuanya akan kembali. Karena….kepada-Mu jualah [seharusnya] cinta & pengorbanan dipersembahkan…

dedicated to beloved brothers n sisters in Palestine…may Allah bless u all freedom

Read Full Post »

 

Kisah ini saya kutip dari artikel Majalah Tarbawi Edisi 177 Th.9 / April 2008. Saya sangat terkesan dan kagum kepada Pak Ayi Rohaman (Desa Arjasari, Bandung) atas keikhlasan, keseriusan dan sumbangsih beliau untuk pendidikan bangsa. Semoga Allah membalas segala kebaikan dan pengorbanan beliau. Berikut ringkasan kisahnya yang dituturkan beliau pada Tarbawi. 

 

Mang Ayi, Gorden Keliling dan Perpustakaan Sariwangi

 

“ Sejak masih remaja, saya sudah bekerja apa saja. Keluarga saya bukan keluarga berada, bahkan sangat sederhana. Waktu masih sekolah, saya sering tidak bisa membeli buku karena sama sekali tidak ada uang. Meski sangat ingin dan perlu buku, tapi saya tidak tega kalau harus memaksa orang tua, karena biayanya memang tidak ada.

 Sejak dulu, saya memang senang membaca buku. Karena kesukaan saya ini, kadang saya dicemooh, disebut berlagak seperti orang kaya [tertawa]. Ketika menyempatkan waktu untuk membaca, kadang dikatakan, “wah tukang gorden kayak orang kaya, pagi-pagi udah baca koran” [tertawa]. Tapi saya tidak ambil pusing. Menyikapi olokan teman, saya justru merasa prihatin. Mungkin mereka masih berprinsip buat apa membaca, memangnya bisa mendatangkan uang.

 Saya pernah membaca penelitian sebuah majalah di tahun 2004, yang mengatakan daya baca masyarakat kita di bawah standar. Katanya minat baca orang Indonesia peringkat 110 dari 175 negara. Saya kaget, kenapa bisa serendah itu. Apa karena manusianya tidak mau membaca atau karena tidak ada bahan bacaan yang aksesnya mudah. Kalau alasannya tidak ada bahan bacaan, kenapa kita tidak terjun untuk menyediakan. Akhirnya mulai terpikir untuk membuka taman bacaan di desa sendiri (desa Arjasari, Bandung).

 

Suatu hari ketika berjualan gorden keliling, saya melihat di satu keluarga yang anaknya menangis meminta dibelikan buku. Orang tuanya tidak punya uang. Jangankan untuk buku, untuk makan hari itu saja sulit. Tiba di rumah, saya mencari buku yang disimpan di rumah. Buku bekas saya sekolah, buku bekas keponakan, dan buku bacaan lain saya kumpulkan. Terkumpul kurang lebih dari 75 buku. Kemudian saya membuka taman bacaan di teras rumah (pada 20 April 2004)

Awalnya, anak-anak tidak ada yang mau masuk ke teras ‘taman bacaan’ rumah saya. Akhirnya kalau ada anak yang lewat, saya panggil. Saya bilang buku-buku itu tidak dijual tapi justru untuk dibaca secara gratis. Mulailah anak-anak berdatangan dan membaca buku di teras. Selain ‘berkampanye’, saya juga membeli makanan kecil. Uang dari hasil berjualan gorden, saya pakai membeli makanan. Anak-anak lebih senang kalau membaca sambil dikasih makanan, dan semuanya gratis. Mereka memberi tahu temannya, “Disuruh membaca sama Mang Ayi, enak ada permen, ada makanan”. Dari temannya sampai ke temannya lagi. Lama-lama yang datang bertambah terus.

Mulanya istri kurang setuju saya membuka taman bacaan, juga dikarenakan khawatir seluruh perhatian saya tercurah untuk taman bacaan itu. Karena waktu itu rumah tangga saya sendiri ekonominya di bawah standar, miskin. Berjualan gorden keliling, kadang sehari ada yang membeli, setelah itu selama seminggu tidak ada pemasukan. Kalaupun ada untung saya jarang membawa pulang uang. Justru membawa pulang buku (untuk taman bacaan). Kalau mendatangi perumahan, saya melihat buku-buku yang akan dijual ke tukang rongsokan. Saya sangat prihatin. Ya Allah andaikata saya banyak uang, saya ingin membeli semua. Akhirnya saya beranikan diri menawar buku-buku itu. Awalnya orang-orang kaget, kenapa Ayi yang tukang gorden membeli buku bekas. Setelah mengetahui buku itu untuk taman bacaaan, seringkali harganya didiskon, kadang malah diberikan cuma-cuma. Pernah juga saya difitnah, ketika ada tukang rongsokan ingin membeli buku-buku bekas ibu pemilik rumah. Si ibu bilang mau diberikan ke Mang Ayi, namun tukang rongsokan itu berkata, “Mang Ayi bohong, buku-buku itu bukan untuk taman bacaan, tapi buat dijual”. Syukurlah si ibu lebih mempercayai saya.

Ayi Rohaman dan Perpustakaan

Ayi Rohaman dan Perpustakaan. Di scan dari majalah Tarbawi. Foto dok Tarbawi/wasilah

Setelah buku yang terkumpul makin banyak, saya meminjam kios kakak saya di depan rumah. Buku-buku saya susun di dalam kios, yang ukurannya kecil sekali, hanya memuat lima orang. Kalau datang sepuluh anak, yang lima anak harus mengantri di luar. Taman bacaan saya itu kemudian saya beri nama Perpustakaan Sariwangi

Pernah anak bungsu saya menangis meminta uang jajan, tapi tidak saya berikan. Tiba-tiba datang ke perpustakaan seorang anak yang menanyakan buku, untuk PR, dan besoknya harus dikumpulkan. Ternyata di perpustakaan tidak ada buku itu. Hari itu juga saya cari buku itu ke pasar. Istri sempat protes karena anak sendiri tidak diberikan uang jajan [tertawa]. Saya kasihan, anak itu masuk perpustakaan sambil kebingungan. Setelah buku itu ada, anakitu wajahnya cerah. Kalau melihat anak yang wajahnya cerah karena menemukan buku yang dicari, saya senang”.

Perjuangan Mang Ayi belum selesai….

berlanjut ke part 2 di : https://lifenotes197.wordpress.com/2011/02/20/mang-ayi-gorden-keliling-part2/

Read Full Post »

Mang Ayi, Gorden Keliling dan Perpustakaan Sariwangi (part 2)

Sekitar lima bulan berjalan, alhamdulillah istri akhirnya mau membantu mengelola perpustakaan. Karena ia melihat saya orangnya susah diatur [tertawa]. Mungkin istri pusing juga karena saya jadi tidak disiplin. Kalau berjualan gorden tidak lama saya sudah pulang, karena yang dipikirkan bagaimana kalau ada anak meminjam di perpustakaan tidak ada yang melayani. Kalau dibiarkan terus, saya malah tidak akan dapat uang, karena cuma berkeliling sebentar sudah kembali ke perpustakaan [tertawa]. Maka istri menggantikan menjaga perpustakaan bersama anak sulung, kalau saya sedang berkeliling.

Tahun 2005, di luar dugaan, Perpustakaan Sariwangi dinobatkan sebagai pengelola perpustakaan terbaik se-Bandung. Saya diundang untuk menerima hadiah di kabupaten. Saya tidak punya sepatu untuk menghadap bupati. Karena saya ke mana-mana selalu pakai sandal. Sampai malam saya pinjam ke saudara dan tetangga, tapi ukurannya tidak ada yang pas. Sedangkan esoknya harus berangkat pagi ke kabupaten. Hingga istri saya bilang, pakai saja uang simpanan untuk belanja harian. Saya tidak membeli sepatu mahal, karena perlu sisa untuk disimpan dan untuk ongkos ke kabupaten. Sepulang dari kabupaten, ternyata ongkos pulang tidak cukup. Saya hanya bisa naik angkot sampai Banjaran. Untuk naik kendaraan lain ke desa Arjasari, uang sudah habis. Saya berdiri saja di jalan sambil membawa kardus tertutup, hadiah dari bupati. Tiba-tiba ada tetangga lewat. Dia menegur, Ayi kamu keren banget pakai batik dan sepatu (tertawa). Akhirnya saya pulang berboncengan dengan tetangga itu. Sampai di rumah, saya dan istri membuka kardus itu. Setelah terbuka, ternyata didalamnya buku-buku bekas.  

Ini saya jadikan motivasi. Waktu itu saya berjanji pada diri sendiri. Ya Allah, berikanlah saya rejeki yang banyak. Meski tidak ada biaya, saya ingin perpustakaan tetap berdiri. Tiap malam saya berpikir, bagaimana caranya perpustakaan bisa berdiri tegak, tapi keluarga saya juga bisa terurus. Itulah juga doa saya. Saya yakin andaikata berbuat kebaikan, maka Allah akan memberikan kebaikan dan jalan. Maka saya tetap mengelola perpustakaan. Walau kerabat ada yang mencemooh “buat apa harus mikirin orang lain, menyuruh orang membaca, kayak orang kaya aja. Kalau orang kaya sih pantas, kamu kan hidupnya saja kayak begitu”.

Saat anak-anak datang membaca, ada kepuasan tersendiri. Anak-anak yang datang untuk mengerjakan tugas dari guru, ketika melihat buku yang diperlukan ada di perpustakaan, mereka senang sekali. Atau saat melihat anak yang mulanya belum bisa baca, tiba-tiba dia masuk perpustakaan. Lalu belajar membaca, dan akhirnya bisa membaca. Gurunya juga senang karena anak itu jadi bagus bacanya. Bagi saya hal-hal seperti ini merupakan kebahagiaan yang tidak bisa dinilai dengan uang.

Saya sempat bingun dan sedih, sewaktu di tahun 2005, kakak saya mengatakan kios tempat perpustakaan mau dipakai. Saya harus pindah. Tapi mau pindah kemana, saya tidak punya dana sama sekali. Saat itulah tiba-tiba datang wartawan sebuah surat kabar yang ingin wawancara. Setelah wawancara dimuat, di luar dugaan datang wakil suatu yayasan ke perpustakaan. Mereka menanyakan harapan saya. Saya katakan bahwa andaikata saya punya uang, saya ingin punya perpustakaan yang layak. Di akhir obrolan, ternyata wakil dari yayasan itu mengatakan bahwa mereka ingin memberikan dana untuk mendirikan perpustakaan yang layak itu (terdiam). Saya benar-benar tidak menduga. Saya sangat bersyukur. Allah Maha Besar.

Alhamdulillah. Dulu, ketika ‘kampanye’ soal pentingnya membaca, kadang menerima cibiran “tukang gorden aja belagu, pake bicara minat baca segala”. Tapi setelah perpustakaan berkembang, terjadi sebaliknya. Banyak yang mengatakan ingin belajar. Kami juga mempunyai kelompok Petani Membaca. Karena mereka mungkin bukan malas membaca, tetapi terkendala masalah akses dan dana.

[Gedung perpustakaan baru milik Pak Ayi dibangun Januari 2007, dan mulai digunakan Mei 2007. Peminjaman buku dan keanggotaan tetap gratis. Di gedung itu juga diadakan pengajian rutin, kursus komputer-bahasa Inggris dan latihan angklung. Pak Ayi juga pernah diundang berbagai pihak misalnya, mahasiswa UNPAD, perpustakaan Sukabumi dan perpustakaan Solo, untuk menceritakan pengalaman mendirikan perpustakaan. Warga desa yang datang ke perpustakaan Pak Ayi tiap hari mencapai 230 orang, mulai anak-anak SD hingga masyarakat umum]

Read Full Post »

                                                                              

                                “Dalam segala kepahitan harus ada keputusan”

 

                Alangkah cepatnya hidup ini. Berganti dari satu warna ke warna yang lain. Seperti di Madinah saat itu. Baru saja Rasulullah dan kaum Muslimin pulang dari Makkah membawa kemenangan, kesulitan yang baru sudah datang menghadang. Rasanya belum begitu lama mereka menikmati kemenangan itu. Saat sepuluh ribu pasukan Muslim menaklukkan Mekkah tanpa pertumpahan darah. Saat Rasulullah menundukkan kepalanya, di atas untanya, begitu rendah dan sangat rendah, sebagai tanda syukur mendalam kepada Allah. Saat itu manusia berbondong-bondong masuk Islam. Segala kenangan pahit yang mendera Rasulullah dan kaum Muslimin seakan sirna, dan kebahagiaan pun menyelimuti kaum Muslimin.

             Tetapi alangkah cepatnya hidup berganti warna. Di tengah suasana bahagia itu, justru sebuah ancaman baru tengah mengintai. Ancaman dari Romawi, negeri kekaisaran dengan kekuatan militer terbesar pada jaman itu. Maka, kehidupan kaum Muslimin kembali tercekam. Bahkan Umar sang pemberani pun merasakan suasana ini. Keadaan itu diperparah dengan musim kemarau yang sangat panas dan kering, plus bala bantuan Nasrani untuk Romawi yang sudah berjumlah 40 ribu orang.

Dalam setiap keadaan yang sulit harus ada sikap. Inilah diantara prinsip-prinsip kehidupan yang Rasulullah ajarkan kepada kita. Apakah menghadapi kesulitan atau membiarkan kesulitan itu melibas apa saja. Setelah mengkaji secara mendalam, Rasulullah memutuskan untuk menghadapi Romawi. Dengan tigapuluh ribu pasukan, Rasulullah berangkat, ke Tabuk. Suasana begitu sulit. Musim kering merontokkan pertahanan fisik. Untuk delapan belas orang hanya ada satu unta. Begitupun, kadang mereka harus menyembelih unta untuk mengambil persediaan air. Kadang mereka hanya memakan dedaunan, hanya untuk membasahi bibir. Di Tabuk Rasulullah membangun kamp. Selama 20 hari. Beliau memompa semangat juang dan hidup kaum muslimin. Menjelaskan tentang harapan, memberi peringatan dan kabar gembira. Sementara itu, Romawi justru menjadi ketakutan, banyak kabilah Arab yang kemudian membuat perjanjian damai dengan Rasulullah.

            Begitulah, fragmen Tabuk memberikan kita satu catatan penting. Bahwa hidup adalah pergiliran. Bahwa segalanya bisa berubah. Dari gelap ke terang, dari terang ke gelap. Maka masalah utamanya bukanlah pada kesulitan atau kemudahan itu semata. Melainkan, bagaimana kita bersikap. Di saat sulit maupun mudah. Fragmen Tabuk mengajarkan kita bahwa guncangan dan hempasan badai kesulitan tidak boleh merusak jati diri kita. Seorang Mukmin mengerti apa arti sebuah kesulitan. Sebagai ketetapan Allah, sebagai keniscayaan sejarah, sebagai ujian, sebagai tangga menuju penghargaan kualitas diri, juga sebagai siklus pergantian masa yang pasti terjadi didalam hidup.

            Peristiwa Tabuk hanya sebagian dari serial suka duka Rasulullah dan kaum Muslimin dalam menjalani hidup. Sekaligus kumpulan serial bagaimana mereka bisa menaklukkan kesulitan demi kesulitan. Dengan cara mereka yang elegan, terhormat dan holistik. Elegan, karena mereka tidak lari dari kesulitan. Justru mereka hadang kesulitan itu, tanpa arogansi dan menantang-nantang. Terhormat, karena mereka menundukkan kesulitan itu dengan cara yang fair, tidak menjilat, tidak menjual jati diri, apalagi bersengkongkol dengan para pengkhianat. Dan holistik, karena mereka menyelesaikan kesulitan secara keseluruhan, untuk manfaat yang lebih luas.

            Kepada Allah kita memohon ketahanan. Dalam do’a dan pengaduan yang total, lalu dengan usaha kita sendiri, dalam kebersamaan yang terkecil sekalipun, kita hadapi badai kesulitan itu. Agar ia tidak membunuh jati diri kita.

Based on : Hidup Tidak Mengenal Siaran Tunda. Ahmad Zairofi AM. Tarbawi Press. 2006. Jakarta

Read Full Post »

Thanks to flickr.com

Thanks to flickr.com

Suatu hari  di musim semi…

Whoaa…*sugoi…!! * totemo jouzu desu nee..!”, Sakura menatap kagum foto-foto hasil jepretan Aoi yang di-upload di salah satu web dan banyak mendapat pujian.  Sahabat Sakura itu memang ahli sekali fotografi yang bertema alam dan sains, bukan fotografi nyeleneh atau berbau pornografi yang bertopengkan “art”.

Aoi menjawab dengan datar “*ie, shumi dake da yo..”. Sakura menoleh, “Koq responnya dingin begitu !? Bukannya seneng dapet banyak pujian?, tanya Sakura heran. Aoi tersenyum lemah “Tadinya…, tapi begitu nge-baca tulisan ini…pfff.. kerasa ada yang nonjok”, Aoi menunjukkan artikel yang tengah dibacanya. Sakura kemudian membaca artikel yang rupanya sedari tadi direnungi sahabatnya itu. Begini kira-kira tulisan artikel tersebut:

  

Saudaraku,

Allah SWT mengkaruniakan kita akal dan kemampuan berfikir, sesuatu yang sangat mahal didalam hidup ini. Kemampuan akal lah yang menjadi faktor utama dalam menilai apakah seseorang sudah wajib melaksanakan perintah Allah atau belum. Tanpa akal, kita tidak bisa mengenal rambu-rambu didalam kehidupan ini.

Tapi saudaraku, terkadang kita lupa…bahwa

Akal juga bisa membuat kita terseret bahaya.  Seperti yang dikhawatirkan oleh Umar bin Abdul Aziz dalam kata-katanya kepada Roja’ bin Haywa, “Wahai Roja’, aku mempunyai akal tapi aku takut Allah mengazabku karena akalku…” (Sirah wa manaqib Umar, Ibnul Jauzi, 252)

Umar bin Abdul Aziz yang ahli ibadah itu takut sekali dengan kemampuan akalnya yang besar. Khawatir bila kemampuan berfikirnya akan mendorongnya hingga mengeluarkan alasan merubah larangan menjadi sesuatu yang boleh dan wajar dilakukan. Was-was bila ketajaman akalnya perlahan-lahan mengajaknya lebih bersandar pada kemampuan diri sendiri,  ketimbang menyandarkan diri kepada Kuasa Allah SWT.

Saudaraku,

Begitulah. Akal dan pikiran kita bisa juga menjadi pintu kemaksiatan yang menggeser amal ketaatan. Akal bisa menjadi sarana seseorang ujub dan sombong, lalu membuang sikap tawadhu dan rendah hati. Akal dan pikiran bisa membuat banyak alasan agar seseorang boleh melakukan kesalahan yang sebenarnya dilarang. Tanpa ketakwaan dan sikap wara’, kemampuan akal bisa memunculkan sikap melupakan dosa, atau menyepelekan dosa, membesar-besarkan suatu ketaatan, piawai menyembunyikan keburukan dan aib diri, merasa lebih baik dari orang lain…

Dahulu, para salafusshalih telah menemukan cara yang efektif untuk mengendalikan akal dan pikiran mereka. Dengan melakukan tafakur dan tadabbur atau merenungi ciptaan Allah. Dengan cara itulah mereka tetap merasa kerdil dihadapan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.

  

—- Angin musim semi berhembus dengan lembut, meniup dedaunan di taman. Sakura terdiam dan tertegun, tenggelam didalam perenungannya sendiri. Bergelut di sebuah profesi dan menjadi seorang profesional, hidup didalam high-tech lifestyle, tenggelam dalam rasa takjub akan temuan, object oriented, sering kali memudarkan rasa kehambaan, ketergantungan terhadap Allah SWT. Meski keagungan dan keajaiban penciptaan Allah sedemikian dekatnya di pelupuk mata, namun hanya sanggup memunculkan kata-kata “amazing”,“cool” yang ditujukan untuk si penemu dan/atau hasil temuannya, -tanpa bisa sampai kepada “SubhanaAllah”, pengagungan kepada Sang Pencipta keajaiban tersebut sendiri. Sakura merasa sesuatu menohok hatinya, ya… kalimat-kalimat didalam artikel tersebut tak ubahnya seperti nasehat keras bagi dirinya sendiri.

 

“Aku tidak bisa menafikan bahwa hobi fotografi-ku ini sangat rentan menjadi hal yang tidak berguna atau bahkan menjadi dosa”, suara Aoi lirih memecah keheningan. “*Demo, Sakura-san…, aku berharap foto-foto alam dan sains ini bisa bermanfaat untuk ilmu pengetahuan, bisa lebih mengingatkan kepada kebesaran Allah SWT, terutamanya untuk diriku, alhamdulillah jika bisa mengingatkan orang lain juga.

 

“Astaghfirullah al’adhiim..”, Sakura menggelengkan kepalanya, teringat bagaimana seringnya ia terkagum-kagum ketika membaca tulisan mengenai kehebatan cara kerja otak, terpesona melihat makhluk hasil rekayasa genetika, tercengang menyaksikan siaran dari pesawat ulang alik Discovery. Dan yang terparah adalah…betapa seringnya ia merasa puas diri akan pekerjaannya..dan semua itu antusiasme ilmu pengetahuan yang berujung pada kekaguman terhadap objek belaka. Tidak lebih. Tidak ada hati yang semakin menunduk kepada Allah disana. Apalagi kesadaran bahwa ia semakin kerdil dihadapan Allah Azza wa Jalla. Terasa ada yang hampa…jauh di lubuk jiwanya.

Harusnya semua yang ia saksikan tersebut bisa membuatnya berfikir, “otak yang memiliki milyaran sel syaraf yang terhubung dan bersinergis secara sempurna mengatur seluruh pergerakan tubuh makhluk hidup…adakah yang mampu menciptakannya selain Allah?”. Semestinya ia sampai kepada pemahaman, “manusia memang bisa men’ciptakan’ tanaman super, namun ‘bahan mentah’nya – mulai  dari gen, sel, jaringan hingga sistem perkembangan tanaman…adakah manusia yang menyediakannya? Bukankah manusia tidak bisa berbuat apa-apa jika Allah tidak menyediakan semua ‘perangkat’ canggih itu?”.

– – – – 

Sakura terdiam…lama…menatap langit biru yang tenang, menghela nafas, pelan ia berkata “then higher skill should mean higher taqwa…nee Aoi-san”, ucap Sakura seraya menoleh ke arah Aoi. Sahabatnya itu mendekat, memeluk pundaknya, seakan bisa merasakan kegalauan hatinya saat itu. Karena Aoi pun memikirkan hal yang sama…

 “Ya Allah, betapa seringnya kami melupakan-Mu. Merasa berkuasa atas sesuatu, mengandalkan kemampuan diri. Padahal tak ada sesuatu pun di dunia ini selain kepunyaan-Mu, ciptaan-Mu dan berada didalam genggaman-Mu”

Lalu, Aoi pun berbisik, “Semoga Allah meneguhkan kita di jalan ini, jalan yang penuh perjuangan, berlelah-lelah karena mencari ilmu pengetahuan, penat karena bekerja dalam rangka beribadah kepada-Nya. Semuanya…semata-mata untuk dan karena Allah. Memang berat. Karena kesombongan, rasa bangga dan keangkuhan yang seringkali tidak terdeteksi bisa menghancurkan amal kita, menjauhkan kita dari Allah. Kapan pun…”

 

Allahumma rahmatika arju falaan takilni illa nafsi tharfata `aini wa ashlihli sya’ni kullahu laa ilaha illa antaa. (Ya Allah, berilah kami rahmat-Mu, janganlah engkau biarkan kami dikuasai nafsu kami sekejap mata pun. Perbaikilah keadaan kami seluruhnya. Sesungguhnya Tiada Tuhan selain Engkau)

 

Based on  : “Mencari Mutiara di Dasar Hati : Catatan Perenungan Ruhani seri 2”, karya Muhammad Nursani. Penerbit Tarbawi Press. 2004

 

* sugoi = kerenn..!

* totemo jouzu desu nee = bener-bener ahli ya

* ie = tidak, bukan begitu.

* shumi dake da yo = sekedar hobi saja

* demo = tapi, namun

* dakara = oleh karena itu, jadi.

* nee Aoi-san = ya Aoi-san

Read Full Post »

 

Hari itu, Anas bin Nadhar bergegas menemui Rasulullah. Di dadanya bergemuruh tidak saja kekecewaan, namun juga semangat dan kerinduan. Kecewa pada dirinya yang tidak bisa ikut Perang Badar –dan tentunya, kesempatan untuk syahid. Terlebih orang-orang yang ikut didalam perang Badar (ahlu Badr) diampuni dosanya di masa lalu dan di masa yang akan datang. Namun, di sisi lain jiwanya, Anas justru menyimpan semangat dan rindu yang membuncah untuk ikut berperang bersama Rasulullah pada kesempatan lain. Lihatlah apa yang ia katakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa turut dalam perang pertama dimana engkau memerangi orang-orang musyrik. Sekiranya Allah membuatku menyaksikan perang lagi untuk memerangi orang-orang musyrik itu, niscaya Ia akan melihat apa yang akan aku perbuat”.

 

 Anas sadar bahwa momentum pertama telah berlalu. Ia tertinggal.  Ia kecewa. Tapi kekecewaannya itu justru melahirkan cita-cita, kehendak dan kerinduan. Anas tidak lantas terhenti, ia berharap bahwa segalanya belum berakhir. Maka, ketika perang Uhud terjadi, Anas bin Nadhar merangsek maju. Ia berucap pada sahabatnya, Sa’ad bin Mu’adz : “Wahai Sa’ad, aku mencium bau surga di belakang bukit Uhud”. Anas pun maju bertempur. Hingga gugur sebagai syuhada’. Ada lebih delapan puluh luka di sekujur tubuhnya. Anas telah berjanji, dan ia telah menepatinya.

 

Tekad seorang Anas bin Nadhar dan bagaimana cara ia membayar ketertinggalannya dari Perang Badar, adalah cermin tentang sebuah pilihan hidup – dalam contoh perang, tapi inspirasinya luas hingga di luar konteks peperangan. Sebab, pada mulanya adalah cita-cita. Lalu kehendak. Sesudah itu perjuangan menepati janji-janji dan mengejar mimpi-mimpi. Itulah kesetiaan akan pilihan. Itulah perjuangan. Dan, itulah inti kehidupan.

 

Kita, mungkin, sering tertinggal kesempatan-kesempatan yang menentukan. Namun tidak ada gejolak disana. Datar, tanpa menghasilkan pemaknaan apapun, apalagi cita-cita untuk membayar ketertinggalan itu sendiri. Padahal, sejatinya, di ruang lingkup apapun, di medan apapun. Di ruang kantor megah maupun pengap, di hamparan lahan dan hutan. Di rumah kecil tempat seorang ibu membesarkan anak-anaknya. Di sekolah tempat para guru memahat masa depan anak didiknya. Di sana ada banyak sumber pemaknaan. Inspirasi cita-cita. Untuk kemudian melahirkan kehendak. Bagi mereka yang berjiwa pejuang. Karena hanya seorang pejuang yang mengerti betul tujuan hidup dan lantas memperjuangkannya, seperti Anas yang merindukan [menginginkan] surga.

 

Bercita-citalah kita. Sebagai seorang Mukmin yang berjiwa pejuang. Di ‘medan peperangan’ apapun kita (selagi medan itu masih berada pada koridor Islam). Dengan surga sebagai ujung pengharapannya. Tetapi cita-cita, perjuangan – semua itu butuh pengorbanan. Mungkin sangat lama dan melelahkan. Sebab perjuangan hidup ini selalu ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya.

Allahumma ya muqolibul qulub tsabit qalbi ‘ala diinika …Ya Allah karuniakanlah kami hidayah-Mu agar senantiasa dapat memperbaiki diri…

based on :

Hidup Tidak Mengenal Siaran Tunda. Ahmad Zairofi AM. Tarbawi Press. 2006. Jakarta [Bab : Pada Mulanya Cita-cita]

Read Full Post »

Berikut adalah kisah tentang perjalanan hidup seorang pengusaha.  Semoga bisa menjadi pembelajaran bagi kita

Awalnya ia lahir dari sebuah keluarga yang kaya raya.  Sejak kecil hidup dalam limpahan materi dan kasih sayang berlebih dari orang tuanya. Apalagi dia adalah anak bungsu dari lima bersaudara dan terlahir ketika kedua orang tuanya sangat menginginkan anak laki-laki. Wajar jika kemudian dia tumbuh sebagai anak yang cenderung manja, bandel dan sulit diatur. Di usia muda ketika kedua orangtuanya telah meninggal, dia diberi kesempatan belajar ke luar negri. Bertahun-tahun dia tinggal di Amerika dan Eropa. Selama tinggal disana, ternyata dia lebih suka berfoya-foya, menghambur-hamburkan uang. Dia begitu larut dalam budaya hura-hura ala kota-kota kosmopolitan. Ini bisa disimak dari pengakuannya sendiri, “Saya tahu dimana tempat hiburan orang-orang kelas atas, menengah dan bawah. Saya benar-benar menghambakan diri pada harta dan kekayaan”

Namun setelah bertahun-tahun larut dalam kehidupan seperti itu, muncul secercah kesadaran dalam dirinya. “Saya tidak mengerti kenapa tiba-tiba merasa muak dan bosan menjalani kehidupan semacam itu”. Selanjutnya ia memutuskan pulang ke Indonesia. Setelah tiga tahun bekerja di sebuah perusahaan pelayaran, ia memutuskan untuk menikah dengan seorang karyawati bank.

Sejak itu awal episode kesedihan hidupnya dimulai. Beberapa bulan setelah menikah, ia malah dipecat dari tempat kerjanya karena melawan atasan. Dia kemudian menjual sebuah mobil Mercy tahun 50-an miliknya untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta. Mercy satunya lagi ia pakai sebagai taksi dengan ia sendiri sebagai sopirnya. Dia yang semula kaya-raya mendadak jatuh miskin. Rumah yang dia bangun tidak pernah selesai. Ada dinding tetapi belum ada lantai. Ketika lantai pun ada, langit-langit rumah belum dibuat. Dia dan istrinya sehari-hari hanya makan lauk kangkung, tempe, tahu dan garam. Bahkan di tengah-tengah kesusahannya itu sempat jadi kuli bangunan.

Kesedihan semakin menumpuk, ketika mobil satu-satunya miliknya dipinjam seorang teman untuk ke Surabaya. Disana mobil itu mengalami kecelakaan berat sehingga rusak total. Dia dan istri menangis berlinang air mata begitu tahu mobilnya rusak dan tak mungkin lagi dibawa pulang. Sementara itu selaku suami, ia terus ditekan oleh keluarga isterinya, karena dianggap telah menyengsarakan anak gadis mereka.

Kemudian muncul usulan dari  isterinya sendiri agar dia diijinkan untuk bekerja kembali. Usulan ini ia tolak dengan tegas. Begitupun ketika datang tawaran berupa pemberian rumah dari kakak kandungnya yang baru pulang dari luar negri. Tawaran itu ia tolak dengan alasan ia ingin mandiri, tidak mau bergantung kepada orang lain. Saat itu ia merasakan beratnya beban hidup, baik secara fisik maupun pikiran. Beban-beban itu semakin menumpuk hingga puncaknya ia jatuh sakit. Bukan sembarang sakit, tetapi sakit yang nyaris merenggut nyawanya. Di saat-saat seperti itulah dia mulai ingat kepada Tuhan. Bahkan ia kemudian memasrahkan dirinya, hidup matinya, sepenuhnya kepada Tuhan. Alhamdulillah, perlahan kesehatannya membaik hingga melewati masa kritis.

Setelah lepas dari ancaman kematian akibat tekanan depresi, persoalan tidak selesai begitu saja. Kesempitan ekonomi masih terus membayangi. Namun, disinilah titik balik kehidupan itu dimulai. Suatu hari, datanglah seorang kenalan baiknya ke rumahnya. Kenalan itu memberi pinjaman berupa anak ayam sejumlah 50 ekor. Kenalan ini juga bersedia menyediakan pakan ayamnya. Uniknya, kenalan ini datang secara tiba-tiba, tanpa diduga ataupun diundang. Inilah yang kemudian dia hayati sebagai wujud pertolongan Allah.

Sejak itu roda ekonomi keluarganya mulai bergerak. Dengan modal 50 ekor anak ayam, dia bukan hanya memperoleh penghasilan tambahan, namun benar-benar bangkit dari kemiskinan. Secara perlahan ia mulai menjadi seorang usahawan. Perlahan namun pasti, usahanya terus berkembang. Seolah seperti air bah yang tidak terhalangi, bermula dari modal 50 ekor ayam, akhirnya ia bisa membangun sebuah supermarket. Kemajuan usahanya tidak berhenti sampai disini, dia terus melakukan ekspansi usaha. Dia membuat pabrik sosis dan membuka lahan perkebunan sayur-mayur. Bahkan dia pun kemudian membuka restauran. Inilah kondisi titik balik dari era keterpurukan yang pernah dialaminya. Bahkan boleh jadi, keberhasilan ini melebihi keberhasilan yang telah diraih oleh orang tua atau saudara-saudaranya yang lain.

Namun di puncak kesuksesan inilah, ia justru merasakan kegelisahan tersendiri. Ia menceritakan “Dari segi materi, kehidupan saya yang berbalik dari miskin dan serba kekurangan menjadi kaya raya, memang membuat saya bangga. Sebab semuanya saya peroleh dengan kerja keras, tanpa menggantungkan pemberian orang. Tetapi batin saya justru merasa gelisah. Saya sering bertanya untuk apa sebenarnya saya menumpuk harta?” Ia pun memutuskan untuk mendekat kepada Allah. Ia dan istri berangkat umrah. “Sepulang dari menunaikan ibadah umrah, hati ini merasa tentram. Saya mulai merasakan kehidupan yang sebenarnya. Saya dan istri mulai tekun belajar mengaji”.

Dikutip dari buku “Hidup Itu Mudah” karya Abu Muhammad Waskito, Penerbit KHALIFA, 2007. Kisah ini sendiri ditulis ulang oleh beliau dari artikel majalah Amanah no.52, edisi 1-14 Juli 1988

Kisah ini mengajarkan saya banyak hal, seperti:

–      bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan seperti Allah firmankan didalam QS. Al-Insyirah

–      bahwa hidup memang pergiliran dari ‘gelap’ dan ‘terang’, naik dan turun

–      bahwa ketika kita benar-benar memasrahkan segalanya (tawakkal) kepada Allah, Ia akan mencukupkan kita, mendatangkan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka

Rabbana laa tu’dzi qulubana ba’da idzhadaitana wa hablana min ladunka rahmatan. Innaka antal wahhab.

Waallahu a’lam bishshawab.

Read Full Post »

TRUE STORY :

Kisah berikut ini mengajarkan saya, bahwa apapun kita, seharusnya punya life mission statement -dalam rangka beribadah kepada Allah – tentunya. Mungkin istilah ini biasa kita dengar dari pebisnis, motivator, dan semacamnya. Tapi kalau istilah ini kita dengar dari seorang tukang becak?

Mungkin sahabat juga bakal terkejut dan terkagum-kagum seperti saya. Ya. Ternyata, such story does exist.

hanya ilustrasi

Seorang tukang becak di sebuahkota di Jawa Timur, inilah life mission statement -nya:

1) Jangan Pernah Menyakiti

2) Hati-hati memberi makan seorang istri.

Dua kalimat yang terdengar sederhana, namun jangan anggap ini perkara mudah.

Statement pertama, konsekuensinya: Jangan sampai ada yang menawar ongkos becak, karena menawar berarti menunjukkan ketidak relaan dan penumpang mungkin saja ter’sakiti’ perasaannya. Makanya beliau tidak pernah pasang tarif nge-becak. Misalnya, ada penumpang -tanpa tanya ongkos- langsung ngomong, “Pak, terminal..5000 ya..!”, si bapak pasti nge-jawab;”OK”, ntar kalau ada penumpang lain lagi, “Pak, terminal…3000 ya..!”, jawabnya pasti “OK” juga. Bahkan kalau ada penumpang yg minta, “Pak, terminal…1000 ya!”, si bapak pun mengangguk setuju.

Statement kedua, berhati-hati memberi makan istri, artinya sang istri hanya  akan makan dari hasil keringat dan  becaknya yang tua. Ini menjaga makanan haram masuk ke mulut keluarganya. Rumahnya pun sangat sederhana.

Namun, ada hal yang jauh lebih mengagumkan. Beliau teryata seorang hafidz Qur’an plus dengan 7 qiraat -nya!

Kedua putranya juga hafidz Qur’an, 1 jadi dosen PTN terkemuka di Jakarta, 1 orang lagi jadi pejabat strategis. Jadi, kalau beliau mau, beliau bisa saja stop dari nge-becak dan menikmati kesuksesan anak-anaknya.

Tapi uniknya, saat pulang kampung, anak-anaknya yang sukses ini tak berani berpenampilan’ wah’. Mobil ditinggal beberapa blok dari rumah. Semua aksesoris diri: arloji, handphone dicopoti. Ini adab, tatakrama. Sudah berulangkali sang anak mengajak orangtuanya ikut ke Jakarta. Namun si anak hanya bisa menangis, mendengar sang ayah menceritakan betapa bahagianya ia dengan kehidupannya dan mempersilahkan putra-putranya menikm ati kebahagiaan mereka sendiri.

Dikutip dari buku Barakallu Laka: Bahagianya Merayakan Cinta. Karya Salim A. Fillah (dengan beberapa edit)

Ternyata, seperti yang dikatakan penulis kisah ini…”Ada banyak kekasih Allah yang tidak kita kenal”

Saya jadi ingat salah satu buku favorit: Lelaki Hitam, Pendek dan Lebih Jelek dari Unta-nya karangan Ahmad Zairofi AM.

Ya…memang sangat-sangat banyak wali Allah, hamba Allah yang mengagumkan, justru jauh dari kata ‘populer’, ‘nge-top’, dan sederet perlengkapan duniawi lainnya…

Read Full Post »

Ada kisah sedekah yang sangat berkesan bagi saya, karena menurut saya sosok didalam kisah ini terbilang langka untuk kita temukan sekarang. Berikut adalah kisahnya yang diceritakan oleh Hamzah Ali Parayeel, putra pemilik restoran terkenal “Malabar”, saya kutip dari majalah TARBAWI edisi 11 Th.8 Syawal 1428 H, beberapa bagian saya ringkas karena cukup panjang.

“Ayah saya, almarhum Haji Ali Parayeel membuka restoran Malabar di Harmoni, Jakarta, pada tahun 1943. Restoran itu menyajikan berbagai menu, terutama menu ber’nafaskan’ India. Meski termasuk restoran ternama, tapi Malabar terjangkau oleh kelas bawah. Walau orang kurang berpunya, bisa makan disana karena bisa menyesuaikan dana dengan harga menu. Bangunan restoran juga tidak mewah, ruko biasa, hanya saja warna catnya bernuansa India.

Ayah punya kebiasaan bersedekah. Beliau yakin sekali akan kekuatan sedekah. Sejak restoran dibuka (1943) hingga ditutup pada tahun 1978, setiap Ramadhan, segala menu disediakan gratis untuk orang berbuka puasa.  Selama sebulan itu, kasir tidak berfungsi. Jumlah orang yang datang untuk berbuka puasa gratis tidak dibatasi. Para pedagang di sekitar lokasi restoran, mereka yang kemaghriban di jalan, orang yang tidak mampu dan siapapun berdatangan ke restoran. Masakan tersedia terus sejak maghrib, non stop, dan orang yang berbuka puasa tidak pernah kehabisan makanan. Meja-meja restoran digabungkan hingga membentuk meja amat panjang. Tidak dipisahkan si miskin dan si kaya, semua duduk bersama. Ayah selalu duduk di salah satu kursi di meja tersebut, berbuka puasa bersama “tamu-tamu” nya. Setelah menyantap hidangan, biasanya sebagian orang tak berpunya tetap tinggal. Kemudian Ayah mengeluarkan zakat untuk mereka.

Menjelang Ramadhan, Ayah sudah menghitung keuangannya. Beliau tidak menggunakan bank karena menolak riba, jadi semua uangnya dimasukkan koper. Uang untuk zakat dipisah pada tempat khusus dan tidak boleh dipakai untuk urusan yang lain. Dan mulai tanggal satu Ramadhan orang sudah berdatangan untuk mengambil zakat.

Di hari raya Idul Fitri, Ayah menyediakan berbagai hidangan di restoran secara gratis pula. Setelah shalat Ied, dari mesjid Ayah langsung ke restoran, melayani orang-orang yang berdatangan. Setiap pulang shalat Jum’at, Ayah tidak pernah sendiri. Selalu membawa orang-orang untuk makan di restoran tanpa biaya. Di restoran kerap datang tamu yang ingin makan namun tak punya uang. Mereka disediakan tempat didalam, di balai yang biasa dijadikan tempat berkumpul keluarga.

Tapi beliau pernah marah dan membentak oknum petinggi militer yang datang ke restoran. Orang itu ingin makan bersama teman-temannya dan ingin membawa minuman keras. Ayah mengusirnya.

Pada 23 Ramadhan 1974, ayah berpulang, setelah sakit selama sebulan. Di saat sakit, Ayah selalu bertanya rumah siapa yang ia tempati saat itu. Kami menjawab bahwa itu rumah Ayah (yang biasanya). Beliau mengatakan tidak mungkin itu rumahnya, karena rumah itu begitu bagusnya, indah dengan taman anggur di sekelilingnya. Bahkan di kamarnya pun Ayah sering mengatakan ia melihat taman anggur, dan matanya bersinar karena kagum.

Beberapa saat sebelum wafatnya, Ayah bangun dari tidur dan meminta minum. Setelah minum, beliau berujar, “Alhamdulillah hari ini saya minum juga”. Setelah itu ia ingin kembali merebahkan diri, namun sebelum kepalanya menyentuh bantal, saat itulah saya melihat bibir Ayah melafalkan laa ilaaha illallah. Setelah mengucapkan syahadat, beliau pun berpulang.”

Read Full Post »

Semoga kisah berikut ini menginspirasi kita untuk bersungguh-sungguh beramal dan bekerja keras dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Amiin Ya Rabbal ‘alamiin.

Dikutip dari salah satu rubrik KIAT majalah TARBAWI edisi 175 Th. 9 Maret 2008, merupakan kisah yang dikirimkan oleh Afifah (pada saat itu duduk di kelas VII SMP Alam Ar-Ridho, Semarang) – dengan diringkas pada beberapa bagian tanpa mengurangi maknanya.

“Di depan rumah saya, tiap pagi lewat penjual bubur yang sudah tua. Orang-orang biasanya memanggilnya “Mbah Bubur”. Beliau rela keliling kampung berkilo-kilo meter menjajakan buburnya. Setiap hari Mbah Bubur melayani pembeli dengan ceria. Padahal tenaga yang dikeluarkan rasanya tidak sebanding dengan harga bubur yang sepincuk seharga lima ratus rupiah. Meski begitu, saya tak pernah sekalipun mendengar ia berkeluh kesah. Pernah saya menyarankan agar ia pensiun saja, karena menurut saya anak-anaknya pasti mau merawat. Tapi Mbah Bubur malah bilang selama ia masih diberikan kesehatan, ia akan tetap berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri, tidak mau merepotkan anak-anaknya.

Suatu hari, si Mbah tidak kelihatan berjualan. Hari-hari berikutnya juga tidak tampak. Saya menduga akhirnya sampai masanya beliau pensiun. Saya menganggap wajarlah karena ia sudah tua. Pasti sudah kecapekan dan memang waktunya istirahat.

Ternyata dugaan saya salah. Sebulan kemudian Mbah Bubur datang kembali berjualan lengkap dengan gerobak buburnya. Dengan wajah lebih cerah, pagi itu Mbah Bubur menceritakan pengalamannya selama sebulan menghilang. Ternyata ia baru saja menunaikan ibadah haji!. Beliau juga bilang dirinya bahagia karena hasil kerja kerasnya menabung dan berjualan bubur selama itu tidak sia-sia.

Apa yang saya dengar itu sungguh mengejutkan. Tentu tidak mudah, butuh waktu amat lama dan kesabaran tinggi untuk menyisihkan uang yang sedikit itu (harga bubur si Mbah cuma 500 perak per pincuk), hari demi hari. Saya jadi malu karena setua Mbah Bubur saja masih semangat bekerja keras untuk berusaha menunaikan ibadah haji. Beliau juga berpesan agar berusaha keras bisa berhaji di usia muda karena badan masih kuat.

Sekarang saya jadi bersemangat berusaha memenuhi pelaksanaan ibadah. Saya mulai berusaha untuk bisa berqurban tahun depan, InsyaAllah. Selanjutnya saya bercita-cita berhaji di usia muda”.

catatan blogger :

Pertama kali membaca artikel ini, saya kagum tidak hanya kepada Mbah Bubur (tentunya) tapi juga pada Afifah – jazakillah khair ya ukhti – yang mampu menangkap makna dari kehidupan sekitarnya untuk dijadikan bahan renungan, padahal ia baru duduk di kelas 7 SMP – subhanaAllah -. Semoga anak-anak kita bisa memiliki kepribadian seperti ini ya. Karena sangat miris sekali bahwa banyak remaja saat ini cenderung terpaku pada gaya hidup yang hedonis, model pakaian terbaru, game terbaru, dsb.

Read Full Post »

Older Posts »