Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘pernak pernik kehidupan Rasulullah’

 

Hari itu, Anas bin Nadhar bergegas menemui Rasulullah. Di dadanya bergemuruh tidak saja kekecewaan, namun juga semangat dan kerinduan. Kecewa pada dirinya yang tidak bisa ikut Perang Badar –dan tentunya, kesempatan untuk syahid. Terlebih orang-orang yang ikut didalam perang Badar (ahlu Badr) diampuni dosanya di masa lalu dan di masa yang akan datang. Namun, di sisi lain jiwanya, Anas justru menyimpan semangat dan rindu yang membuncah untuk ikut berperang bersama Rasulullah pada kesempatan lain. Lihatlah apa yang ia katakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa turut dalam perang pertama dimana engkau memerangi orang-orang musyrik. Sekiranya Allah membuatku menyaksikan perang lagi untuk memerangi orang-orang musyrik itu, niscaya Ia akan melihat apa yang akan aku perbuat”.

 

 Anas sadar bahwa momentum pertama telah berlalu. Ia tertinggal.  Ia kecewa. Tapi kekecewaannya itu justru melahirkan cita-cita, kehendak dan kerinduan. Anas tidak lantas terhenti, ia berharap bahwa segalanya belum berakhir. Maka, ketika perang Uhud terjadi, Anas bin Nadhar merangsek maju. Ia berucap pada sahabatnya, Sa’ad bin Mu’adz : “Wahai Sa’ad, aku mencium bau surga di belakang bukit Uhud”. Anas pun maju bertempur. Hingga gugur sebagai syuhada’. Ada lebih delapan puluh luka di sekujur tubuhnya. Anas telah berjanji, dan ia telah menepatinya.

 

Tekad seorang Anas bin Nadhar dan bagaimana cara ia membayar ketertinggalannya dari Perang Badar, adalah cermin tentang sebuah pilihan hidup – dalam contoh perang, tapi inspirasinya luas hingga di luar konteks peperangan. Sebab, pada mulanya adalah cita-cita. Lalu kehendak. Sesudah itu perjuangan menepati janji-janji dan mengejar mimpi-mimpi. Itulah kesetiaan akan pilihan. Itulah perjuangan. Dan, itulah inti kehidupan.

 

Kita, mungkin, sering tertinggal kesempatan-kesempatan yang menentukan. Namun tidak ada gejolak disana. Datar, tanpa menghasilkan pemaknaan apapun, apalagi cita-cita untuk membayar ketertinggalan itu sendiri. Padahal, sejatinya, di ruang lingkup apapun, di medan apapun. Di ruang kantor megah maupun pengap, di hamparan lahan dan hutan. Di rumah kecil tempat seorang ibu membesarkan anak-anaknya. Di sekolah tempat para guru memahat masa depan anak didiknya. Di sana ada banyak sumber pemaknaan. Inspirasi cita-cita. Untuk kemudian melahirkan kehendak. Bagi mereka yang berjiwa pejuang. Karena hanya seorang pejuang yang mengerti betul tujuan hidup dan lantas memperjuangkannya, seperti Anas yang merindukan [menginginkan] surga.

 

Bercita-citalah kita. Sebagai seorang Mukmin yang berjiwa pejuang. Di ‘medan peperangan’ apapun kita (selagi medan itu masih berada pada koridor Islam). Dengan surga sebagai ujung pengharapannya. Tetapi cita-cita, perjuangan – semua itu butuh pengorbanan. Mungkin sangat lama dan melelahkan. Sebab perjuangan hidup ini selalu ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya.

Allahumma ya muqolibul qulub tsabit qalbi ‘ala diinika …Ya Allah karuniakanlah kami hidayah-Mu agar senantiasa dapat memperbaiki diri…

based on :

Hidup Tidak Mengenal Siaran Tunda. Ahmad Zairofi AM. Tarbawi Press. 2006. Jakarta [Bab : Pada Mulanya Cita-cita]

Read Full Post »